Artikel

Temukan informasi terkini, wawasan mendalam, dan hasil penelitian mengenai keanekaragaman hayati, upaya konservasi, serta kegiatan terbaru dari Balai Taman Nasional Kayan Mentarang.

Menyingkap Cita Rasa Madu Asli Long Ampung

Madu Long Ampung berasal dari lebah hutan (Apis dorsata) yang bersarang di pepohonan tinggi di tengah rimba tropis. Sarang-sarang lebah ini tumbuh alami tanpa campur tangan manusia, sehingga madu yang dihasilkan benar-benar murni dan bebas dari bahan kimia. Inilah yang membuat cita rasa madu Long Ampung berbeda dari madu ternak.

Madu Long Ampung memiliki warna keemasan pekat hingga cokelat tua, dengan tekstur kental yang menempel di lidah. Rasanya tidak hanya manis, tetapi juga kaya akan lapisan rasa: sedikit asam segar, ada pahit lembut di ujung, dan aroma bunga hutan yang khas. Perpaduan rasa ini berasal dari beragam jenis bunga hutan tropis yang menjadi sumber nektar lebah.

Tarian Dayak Kenyah ‘Kancet Ledo’: Simfoni Alam dan Keindahan Budaya

Di Desa Long Ampung, jantung wilayah Apau Kayan, tarian tradisional Dayak Kenyah bukan sekadar hiburan atau pertunjukan budaya. Bagi masyarakat setempat, tarian adalah bahasa jiwa yang menyampaikan nilai-nilai kehidupan, hubungan manusia dengan alam, dan penghormatan kepada leluhur. Setiap gerak, irama, dan busana memiliki filosofi mendalam yang merefleksikan identitas Dayak Kenyah.

Salah satu tarian paling terkenal adalah Tari Kancet Ledo (Tari Gong), di mana penari perempuan menirukan gerak burung Enggang. Bagi Kenyah, Enggang adalah simbol kesucian, kemuliaan, dan keseimbangan kosmos. Gerakan sayap Enggang yang lebar menggambarkan kebebasan dan kekuatan, sementara lemah-lembutnya tarian menunjukkan harmoni dan kasih sayang dalam kehidupan sosial.



Di pedalaman Kalimantan Utara, di hulu Sungai Kayan yang mengalir perkasa, hiduplah seorang tokoh besar yang dikenang masyarakat Dayak Kenyah sebagai Raja Apau KayanLencau Ingan. Ia bukan hanya seorang pemimpin adat, melainkan sosok yang menyatukan masyarakat di wilayah perbatasan ketika bayang-bayang penjajahan Belanda menekan bumi Borneo.

Lencau Ingan dikenal sebagai pemimpin yang bijak dan berwibawa. Dalam masa kepemimpinannya, ia mampu merangkul berbagai lapisan masyarakat Apau Kayan, memperkuat solidaritas di tengah ancaman kolonialisme. Di balik senjata dan strategi perlawanan, ada pula doa dan ritual adat yang menyertai langkahnya, menegaskan bahwa perjuangan Dayak tidak hanya bersifat jasmani, tetapi juga spiritual.

Memperkenalkan Nugal: Sistem Perladangan Ramah Gender di Dataran Apau Kayan

Desa Long Ampung Di banyak komunitas adat di Indonesia, khususnya masyarakat Dayak di Kalimantan, aktivitas pertanian ladang masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu praktik yang hingga kini tetap dilestarikan adalah nugal, yaitu kegiatan menugal tanah dengan tongkat kayu tajam (asek) untuk membuat lubang, kemudian mengisinya dengan benih padi atau tanaman lain.

Nugal bukan sekadar metode bercocok tanam tradisional, melainkan juga sebuah ritual budaya yang sarat makna kebersamaan, spiritualitas, serta harmoni antara manusia dan alam. Menariknya, praktik ini juga mencerminkan kesetaraan peran gender dalam sistem perladangan tradisional. Dalam perspektif keadilan gender, Aktivitas nugal dilakukan secara kolektif, dengan pembagian peran yang jelas antara laki-laki dan perempuan.Praktik ini menarik untuk dikaji karena memperlihatkan adanya gender complementarity—di mana peran laki-laki dan perempuan bukan dipisahkan secara hierarkis, melainkan saling melengkapi. Dengan demikian, nugal dapat dipahami sebagai bentuk sistem perladangan ramah gender yang berakar pada kearifan lokal. Secara teknis, proses nugal melibatkan dua peran utama: pertama, Laki-laki bertugas membuat lubang di tanah menggunakan tongkat kayu (asek).

Kedua, Perempuan mengikuti di belakang untuk memasukkan benih ke dalam lubang tersebut.Pola kerja nugal berlangsung simultan, beriringan, dan penuh makna simbolik. Peran laki-laki melambangkan kekuatan fisik, sedangkan peran perempuan merepresentasikan keberlanjutan hidup melalui benih. Keduanya berjalan berdampingan, tanpa ada dominasi salah satu pihak.Dalam perspektif antropologi feminis, pola ini mencerminkan apa yang disebut gender partnership, di mana kerja perempuan diakui sebagai pusat produksi dan reproduksi kehidupan. Nugal mewariskan budaya egaliter, dimana sistem ini diwariskan lintas generasi, menunjukkan bahwa nilai kesetaraan gender telah tertanam dalam praktik agraris tradisional.

Di Desa Long Ampung, Nugal dilakukan pada masa tanam seperti di Bulan September. Di tengah gempuran budaya modernitas dan egosentrisme yang menguat, masyarakat desa long Ampung secara kolektif masih menerapkan pola praktik.